Seperti yang jamak tertulis di buku-buku,  kota adalah pusat aktivitas dan pertumbuhan manusia. Tujuan akhir dari penataan kota adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat kota dan daerah-daerah sekitarnya. Perkembangan kota yang cenderung kapitalis-materialistik seringkali menjadi celah bagi munculnya kerawanan sosial yang ditandai dengan gejala-gejala eksklusivisme dalam penggunaan ruang-ruang kota.

Revolusi industri 4.0 dan society 5.0 mendorong inklusivitas dan kesetaraan dalam pemanfaatan public space di perkotaan. Gagasan ini bukan hanya tentang mengubah lanskap fisik tetapi juga tentang mengatasi kesenjangan sosial yang mengakar yang membentuk lingkungan perkotaan saat ini. Sebagai salah satu bagian kota yang menjadi subyek dan obyek tata kota, kampus Universitas Diponegoro harus menjadi bagian dari proses inklusivitas dan kesetaraan.

Terkait dengan inklusivitas kota dan kampus, pada 5 Juli 2024 lalu, Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro mengundang Camille Martinez dari Laboratoire RIVES-EVS dari Universite de Lyon, Prancis untuk berdiskusi fenomena desain perkotaan sebagai cerminan kuat kesenjangan sosial, khususnya yang didasarkan pada perspektif kesenjangan gender. Diskusi yang dipandu oleh Refta Indra Maharani –  mahasiswa Teknik Geodesi Angkatan 2019 – terasa sangat relevan dengan isu-isu perundungan dan mental health yang terjadi di perkotaan dan lingkungan kampus.

Pemandangan Kota Berdasarkan Gender

Martinez berpendapat bahwa lingkungan perkotaan secara historis telah dirancang dan secara konservatif dipahami dengan perspektif sempit dan juga sebagian besar melayani orang-orang yang berbadan sehat, bahkan cenderung hanya untuk mengakomodasi kepentingan laki-laki yang bekerja, sehingga sangat bias terhadap kebutuhan “Gender”. Pendekatan yang berpusat pada laki-laki ini dicontohkan oleh Modulor Le Corbusier, yang merupakan standar yang didasarkan pada dimensi laki-laki atletis yang secara inheren meminggirkan perempuan dan kelompok masyarakat kelas dua lainnya. Martinez mengartikulasikan bahwa perspektif ini telah mengakibatkan kota-kota gagal memenuhi beragam kebutuhan penduduknya, khususnya perempuan.

Ruang publik seringkali melambangkan dan memperkuat ketidaksetaraan gender. Martinez menjelaskan bahwa banyak perempuan merasakan rasa tidak aman yang mendalam di ruang publik karena hal ini diperburuk oleh desain perkotaan yang tidak memperhatikan keselamatan dan kenyamanan mereka. Faktor-faktor seperti penerangan jalan yang buruk, kurangnya toilet umum, dan trotoar yang tidak memadai turut menyebabkan keengganan mereka untuk berlama-lama atau memanfaatkan sepenuhnya ruang-ruang tersebut.

Selain itu, Martinez menekankan praktik zonasi spasial, yang memisahkan kawasan industri, komersial, dan pemukiman, serta memberikan beban tambahan pada perempuan, yang biasanya menanggung beban tanggung jawab pengasuhan anak. Keterpisahan ini seringkali memaksa perempuan melakukan perjalanan jarak jauh untuk bekerja, mengasuh anak, dan urusan rumah tangga yang membuat rutinitas sehari-hari mereka menjadi lebih berat dan membatasi peluang ekonomi mereka. Intinya, perencanaan kota yang gagal mengintegrasikan perspektif gender tidak hanya meminggirkan perempuan namun juga memperkuat kesenjangan sosial yang lebih luas. Dengan mengatasi permasalahan ini, Perencanaan Kota dapat berkembang menuju inklusivitas dan kesetaraan yang lebih besar, serta memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

Kota-kota di Eropa seperti Wina, Berlin, dan Barcelona menjadi contoh model perencanaan kota yang peka gender. Panduan komprehensif Wina, “Pengarusutamaan Gender dalam Perencanaan Kota dan Pembangunan Perkotaan,” memberikan cetak biru untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pembangunan perkotaan. Kota-kota ini telah menerapkan kebijakan dan inisiatif yang mengatasi kesenjangan gender, sehingga menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih inklusif dan fungsional.

Langkah ke Depan yang Diperlukan: Membuka Jalan bagi Perencanaan Kota yang Inklusif

Dalam upaya mewujudkan kota yang lebih adil dan inklusif, mengintegrasikan perspektif gender ke dalam perencanaan kota bukan hanya soal keadilan; ini merupakan langkah penting menuju penciptaan lingkungan perkotaan yang fungsional, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua penduduk. Camille Martinez dengan fasih berpendapat bahwa mengatasi kesenjangan gender dalam desain perkotaan dapat membawa perubahan transformatif di kota-kota kita, memastikan kota-kota tersebut memenuhi beragam kebutuhan penduduknya.

Pemahaman Martinez telah menjelaskan bias-bias yang sering diabaikan dalam proses perencanaan kota. Ia menekankan bahwa desain perkotaan tradisional seringkali mengabaikan pengalaman dan kebutuhan unik perempuan dan kelompok masyarakat tertentu lainnya, sehingga menghasilkan kota yang tidak sepenuhnya mengakomodasi kehidupan dan kebutuhan mereka sehari-hari. Pengawasan ini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari pilihan transportasi umum yang tidak memadai hingga ruang publik yang tidak aman dan fasilitas yang tidak memadai. Ide-ide besar untuk membangun kota yang inklusif semestinya ditransformasi menjadi ide untuk mewujudkan kampus yang modern, toleran, nihil perundungan, dan ramah untuk semua orang. Tentu saja, kota dan kampus modern dan berwawasan global tetap harus mengadaptasi tata nilai moral, etika, agama, dan budaya lokal dan nasional.

Meskipun dibahas dalam gaya Sosiologi Gender – Perkotaan oleh Camille Martinez, bagi Disiplin ilmu Teknik Geodesi, topik tersebut tentu menjadi renungan untuk memperkaya khasanah keilmuan dalam Konteks Human Geography – Gender dan Perkotaan. Elaborasi antara Perkembangan Ilmu Geospasial Kedepannya diharapkan mampu dilebur dalam topik-topik sosial sepeti Gender dan Perkotaan. Tidak menutup kemungkinan topik-topik serupa dapat menjadi Tema Mata Kuliah Capstone (Kemah Kerja) Mahasiswa Departemen Teknik Geodesi Undip. Bagaimana Integrasi dan Elaborasi praktis keilmuwan Geodesi di era Society 5.0 akan semakin menarik untuk dinanti sehingga peran Geodesi dalam menghadirkan Solusi Geospasial bagi permasalahan-permasalahan praktis di masyakat akan semakin komprehensif.